PEREKONOMIAN SOKOGURU
Pemerintahan Soeharto
menandai bergesernya bandul perekonomian Indonesia ke sisi sebelah kanan. Hal
itu antara lain ditandai dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing
(UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No.12/1967. Diawal Orde Baru ini gagasan ekonomi
kerakyatan sempat mencoba muncul kembali. Tetapi dalam pergulatan pemikiran
yang terjadi antara kubu ekonomi kerakyatan yang antara lain dimotori oleh
Sarbini Sumawinata, dengan kubu ekonomi neoliberal yang dimotori oleh Widjojo
Nitisastro, kubu ekonomi neoliberal muncul sebagai pemenang. Sarbini hanya
sempat singgah sebentar di Bappenas pada beberapa tahun pertama Orde Baru.
Setelah itu, walaupun tahun 1974 Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa
Malari, perkembangan perekonomian Indonesia di tangan teknokrat neoliberal
boleh dikatakan semakin sulit dibendung. Para teknokrat neoliberal, dengan
dukungan penuh dari Dana Moneter Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan
negara-negara kreditur yang tergabung dalam Inter Govermental Group on
Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan kebijakan ekonomi
Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya stabilitas makro ekonomi
dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Untuk itu,
instrumen utamanya adalah penggalangan modal asing, baik melalui pembuatan
utang luar negeri maupun dengan mengundangnya masuknya. investasi asing
langsung.
Pada mulanya prestasi teknokrat neoliberal, yang sempat dikenal sebagai Mafia
Berkeley itu, memang cukup mencengangkan. Terhitung sejak awal Pelita I (1969
-1973), inflasi berhasil dikendalikan di bawah dua digit. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata 6,5 persen pertahun. Bahkan, di
penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral yang
didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi
kemiskinan patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang lainnya
(World Bank, 1990).
Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia ambruk dilanda oleh krisis moneter,
pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan. Dengan
mengemukakan hal itu tentu tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal
sepanjang era Orde Baru tidak berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang
sering dialamatkan terhadap kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal
asing itu adalah soal melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi
lndonesia yang cukup mengagumkan itu, ternyata tidak dinikmati secara merata
oleh seluruh lapisan penduduk. Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen
penduduk termiskin dengan 10 persen penduduk terkaya meningkat.
Menurut Mubyarto dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1979, mengritik kebijakan ekonomi Orde Baru
yang dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sembari
menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi
kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Kritik lain yang
mencuat terhadap kebijakan ekonomi neoliberal dalam era 1980-an adalah mengenai
merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Beberapa tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia praktis sudah
dikenal oleh masyarakat intemasional sebagai salah satu negara juara korupsi di
dunia. Pertengahan 1980-an, keterlibatan kerabat Cendana dalam memperebutkan
kue bisnis di Indonesia mulai mencuat ke permukaan menjadi bahan perbincangan
umum. Separuh terakhir era ekonomi Orde Baru memang ditandai oleh maraknya
perbincangan mengenai perkembangan kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) di
Indonesia. Para pejabat pemerintah dan para pengusaha kroni Orde Baru, hidup
dari fasilitas negara dan penyalahgunaan tabungan masyarakat, serta membangun
kerajaan bisnis mereka dengan cara menumpuk utang luar negeri.
Klimaksnya, sejak pertengahan 1997, perekonomian Indonesia tiba-tiba ambruk dihantam
oleh badai krisis moneter yang ditiupkan oleh kekuatan kapitalisme kasino
(casiho capitalism). Fundamental ekonomi Indonesia yang dipermukaan tampak
cukup meyakinkan, bagian dalamnya ternyata keropos dan menyimpan bom waktu.
Selain ditandai oleh tingkat kesenjangan ekonomi yang mencolok dan
merajalelanya KKN, pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang rata-rata mencapai 6,5
persen tadi ternyata hanyalah pertumbuhan ekonomi semu yang dibangun diatas
fondasi tumpukan utang luar negeri.
Selanjutnya, seiring dengan semakin merosotnya nilai rupiah dan tumbangnya
Soeharto, para kroni Orde Baru yang telah terlanjur menumpuk utang luar negeri
tersebut, terjungkal satu per satu. Celakanya, antara lain melalui penerbitan
obligasi rekapitalisasi yang ditujukan untuk menyelamatkan sektor perbankan.
Dengan demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak hanya menjadi
malapetaka bagi mereka yang berkuasa dan serba punya, tetapi menjadi malapetaka
pula bagi rakyat banyak yang telah lama menderita.
Dengan berlangsungnya proses sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada
rakyat banyak, kondisi perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin
dalam.
Substansi Ekonomi
Kerakyatan
Landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945.
"Dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
di bawahi pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi." Berdasarkan
bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai
berikut :
1. Partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam proses produksi nasional
Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati
kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak
hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumber daya
nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh
anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Hal ini sejalan
dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
2. Partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional
Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap
anggota masyarakat
turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang
menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar diIndonesia.
3. Kegiatan pembentukan produksi dan
pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat
Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak
boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus
diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun
kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing,
tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah
pimpinan dan pengawasan angota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi
kerakyatan yang ketiga inilah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh
anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi
nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya
terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula
modal intelektual (intelectual capitaf) dan modal institusional (institusional
capital).
Sebagai
konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini, negara wajib
untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan
ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat.
Sehubungan
dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan
melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib
memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika
ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal
material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak
terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
Sehubungan
dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional
secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan
pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh
dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang
menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi
seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara itu,
sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan sedikit pun
bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat
untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang."
Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan
politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada
sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk
membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat
nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai
bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Bertolak dari uraian tersebut, dapat disaksikan bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan
pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan
itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis
besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi
seluruh anggota masyarakat.
2. Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota
masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak teriantar.
3. Terdistribusikannya kepemilikan modal materiaJ secata
relatif merata di antara anggota masyarakat.
4. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi
setiap anggota masyarakat.
5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk
mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.
Pemerintahan Soeharto
menandai bergesernya bandul perekonomian Indonesia ke sisi sebelah kanan. Hal
itu antara lain ditandai dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing
(UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No.12/1967. Diawal Orde Baru ini gagasan
ekonomi kerakyatan sempat mencoba muncul kembali. Tetapi dalam pergulatan
pemikiran yang terjadi antara kubu ekonomi kerakyatan yang antara lain dimotori
oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu ekonomi neoliberal yang dimotori oleh
Widjojo Nitisastro, kubu ekonomi neoliberal muncul sebagai pemenang. Sarbini
hanya sempat singgah sebentar di Bappenas pada beberapa tahun pertama Orde
Baru. Setelah itu, walaupun tahun 1974 Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa
Malari, perkembangan perekonomian Indonesia di tangan teknokrat neoliberal
boleh dikatakan semakin sulit dibendung. Para teknokrat neoliberal, dengan
dukungan penuh dari Dana Moneter Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan
negara-negara kreditur yang tergabung dalam Inter Govermental Group on
Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan kebijakan ekonomi
Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya stabilitas makro ekonomi
dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Untuk itu,
instrumen utamanya adalah penggalangan modal asing, baik melalui pembuatan
utang luar negeri maupun dengan mengundangnya masuknya. investasi asing
langsung.
Pada mulanya prestasi teknokrat neoliberal, yang sempat dikenal sebagai Mafia
Berkeley itu, memang cukup mencengangkan. Terhitung sejak awal Pelita I (1969
-1973), inflasi berhasil dikendalikan di bawah dua digit. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata 6,5 persen pertahun. Bahkan, di
penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan
sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral yang
didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi
kemiskinan patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang lainnya
(World Bank, 1990).
Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia ambruk dilanda oleh krisis moneter,
pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan. Dengan
mengemukakan hal itu tentu tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal
sepanjang era Orde Baru tidak berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang
sering dialamatkan terhadap kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal
asing itu adalah soal melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi lndonesia
yang cukup mengagumkan itu, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh
lapisan penduduk. Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen penduduk termiskin
dengan 10 persen penduduk terkaya meningkat.
Menurut Mubyarto dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1979, mengritik kebijakan ekonomi Orde Baru
yang dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sembari
menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi
kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Kritik lain yang
mencuat terhadap kebijakan ekonomi neoliberal dalam era 1980-an adalah mengenai
merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Beberapa tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia praktis sudah
dikenal oleh masyarakat intemasional sebagai salah satu negara juara korupsi di
dunia. Pertengahan 1980-an, keterlibatan kerabat Cendana dalam memperebutkan
kue bisnis di Indonesia mulai mencuat ke permukaan menjadi bahan perbincangan
umum. Separuh terakhir era ekonomi Orde Baru memang ditandai oleh maraknya
perbincangan mengenai perkembangan kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) di
Indonesia. Para pejabat pemerintah dan para pengusaha kroni Orde Baru, hidup
dari fasilitas negara dan penyalahgunaan tabungan masyarakat, serta membangun
kerajaan bisnis mereka dengan cara menumpuk utang luar negeri.
Klimaksnya, sejak pertengahan 1997, perekonomian Indonesia tiba-tiba ambruk
dihantam oleh badai krisis moneter yang ditiupkan oleh kekuatan kapitalisme
kasino (casiho capitalism). Fundamental ekonomi Indonesia yang dipermukaan
tampak cukup meyakinkan, bagian dalamnya ternyata keropos dan menyimpan bom
waktu. Selain ditandai oleh tingkat kesenjangan ekonomi yang mencolok dan
merajalelanya KKN, pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang rata-rata mencapai 6,5
persen tadi ternyata hanyalah pertumbuhan ekonomi semu yang dibangun diatas fondasi
tumpukan utang luar negeri.
Selanjutnya, seiring dengan semakin merosotnya nilai rupiah dan tumbangnya
Soeharto, para kroni Orde Baru yang telah terlanjur menumpuk utang luar negeri
tersebut, terjungkal satu per satu. Celakanya, antara lain melalui penerbitan
obligasi rekapitalisasi yang ditujukan untuk menyelamatkan sektor perbankan.
Dengan demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak hanya menjadi
malapetaka bagi mereka yang berkuasa dan serba punya, tetapi menjadi malapetaka
pula bagi rakyat banyak yang telah lama menderita.
Dengan berlangsungnya
proses sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada rakyat banyak,
kondisi perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin dalam.
Substansi Ekonomi
Kerakyatan
Landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945.
"Dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
di bawahi pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi." Berdasarkan bunyi
kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai
berikut :
1. Partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam proses produksi nasional
Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati
kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak
hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumber daya
nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh
anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Hal ini sejalan
dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
2. Partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional
Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap
anggota masyarakat
turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang
menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar diIndonesia.
3. Kegiatan pembentukan produksi dan
pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat
Artinya, dalam
rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak
boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus
diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun
kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing,
tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah
pimpinan dan pengawasan angota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi
kerakyatan yang ketiga inilah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh
anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi
nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya
terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula
modal intelektual (intelectual capitaf) dan modal institusional (institusional
capital).
Sebagai
konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini, negara wajib
untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan
ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat.
Sehubungan
dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan
melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib
memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika
ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal
material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak
terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
Sehubungan
dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional
secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan
pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh
dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang
menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh
anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara itu,
sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan sedikit pun
bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat
untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang."
Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan
politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada
sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk
membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat
nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai
bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Bertolak dari uraian tersebut, dapat disaksikan bahwa tujuan utama ekonomi
kerakyatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan
itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis
besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi
seluruh anggota masyarakat.
2. Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota
masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak teriantar.
3. Terdistribusikannya kepemilikan modal materiaJ secata
relatif merata di antara anggota masyarakat.
4. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi
setiap anggota masyarakat.
5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk
mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar